Selasa, 21 Juni 2011

majas bahasa indonesia

Majas / Gaya Bahasa dalam Bahasa Indonesia
Majas adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang. Majas dibagi menjadi beberapa macam, yakni majas perulangan, pertentangan, perbandingan dan pertautan. Dalam artikel ini hanya dijelaskan perbandingan dan pertentangan.
1. Gaya bahasa perbandingan
A. Majas Metafora
Majas metafora adalah gabungan dua hal yang berbeda membentuk suatu pengertian yang baru. Contoh : raja siang, kambing hitam, dll.
B. Majas Alegori
Majas alegori adalah cerita yang digunakan sebagai lambang yang digunakan untuk pendidikan. Contoh : anjing dan kucing, kelinci dan kura-kura, dsb
C. Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang membuat banda mati seolah-olah hidup memiliki sifat-sifat manusia. Contoh :
- Kereta api tua itu meraung-raung di tengah kesunyian malam jumat pahing.
- awan menari-nari di angkasa
D. Majas Perumpamaan
Majas perumpamaan adalah suatu perbandingan dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. Contoh :
- Bagaikan harimau pulang kelaparan
- Seperti manyulam di kain lapuk
E. Majas Antilesis
Majas antilesis adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlawanan. Contoh :
- Semua kebaikan ayahnya dibalas dengan keburukan yang menyakitkan.
2. Gaya Bahasa Pertentangan
A. Majas Hiperbola
Majas hiperbola adalah suatu gaya bahasa yang bersifat melebih-lebihkan. Contoh: - Ibu itu terkejut setengah mati ketika mendengar anaknya tidak lulus ujian       nasional.
B. Majas Ironi
Majas ironi adalah gaa bahasa yang bersifat menindir dengan halus. Contoh :
- Pandai sekali kau baru datang ketika rapat mau selesai
C. Majas Litotes
Majas litotes adalah gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu yang baik menjadi bersifat negatif. Contoh :
- Mampirlah ke gubuk saya! (padahal rumahnya besar dan mewah)

 Majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, namun sebenarnya majas termasuk dalam gaya bahasa. Sebelum masuk pada pembahasan tentang majas, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian tentang gaya bahasa. Gaya bahasa mempunyai cakupan yang sangat luas. Menurut penjelasan Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik (1982), gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu:
1. pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis;
2. pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu;
3. keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Sementara itu, Leech dan Short (1981): mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, untuk tujuan tertentu.  Sebenarnya, apakah fungsi penggunaan gaya bahasa? Pertama-tama, bila dilihat dari fungsi bahasa, penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik, yaitu menjadikan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran) dapat menarik perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat, maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka. Misalnya apabila dalam novel remaja masa kini terdapat banyak gaya bahasa dari masa sebelum kemerdekaan, maka pesan tidak sampai dan novel remaja itu tidak akan disukai pembacanya. Pemakaian gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan singkat.. Seringkali pemakaian gaya bahasa digunakan untuk penekanan terhadap pesan yang diungkapkan.  Selama ratusan tahun telah dilakukan penelitian tentang hal ini. Berbagai klasifikasi dikemukakan, tentu bukan tempatnya di sini diajukan pendapat para ahli yang simpang-siur itu. Ducrot dan Todorov dalam Ditionnaire encyclopédique des sciences du langage (1972) mengemukakan antara lain klasifikasi menurut tataran bahasa, yaitu:
a. tataran bunyi dan grafis (misalnya asonansi, aliterasi, dan lain-lain)
b. tataran sintaksis (misalnya inversi, kalimat tak langsung yang bebas, dan lain-lain)
c. tataran semantik (metafora, ironi, dan lain-lain)

Ada jenis gaya bahasa yang dapat muncul dalam ketiga kategori di atas; misalnya pengulangan, bisa termasuk ke dalam ketiga kategori tersebut
Selanjutnya yang akan dibicarakan lebih lanjut di sini adalah tataran yang ke tiga, yaitu tataran semantik. Gaya bahasa pada tataran ini biasa disebut majas. Dalam tulisan ini, kata majas dipakai sesuai dengan apa yang dimaksud dengan trope (Perancis) yaitu kata atau ungkapan yang digunakan dengan makna yang menyimpang dari makna yang biasa digunakan. Telah banyak pembahasan tentang hal ini. Berbagai usaha penjelasan telah dilakukan, namun tetap belum memadai.
Menurut Kerbrat-Orecchioni (1986: hal. 94), semua jenis makna yang mengandung implisit dalam konteks tertentu dapat membentuk kehadiran majas. Menurut pendapatnya, majas hanyalah suatu kasus khusus dari fungsi implisit (dalam metafora, metonimi, sinekdoke, litotes, ironi, dan lain-lain). Dalam majas, bentuk yang implisit bersifat denotatif dan bentuk yang menggantikannya bersifat konotatif.
Di sini tidak akan dikemukakan keseluruhan majas, karena hal itu akan luas sekali, melainkan hanya akan ditampilkan beberapa macam majas yang sering digunakan. Majas dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Beberapa pakar, antara lain Moeliono dalam bukunya Kembara Bahasa (1979), telah mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:.
1. Majas perbandingan,
2. Majas pertentangan, dan
3. Majas pertautan.

Masing-masing jenis majas ini, terdiri dari beberapa majas. Dalam tulisan ini akan dikemukakan ketiga jenis majas ditambah satu jenis lagi, yang ditemukan dalam penelitian ini. Majas-majas tersebut dapat dijelaskan dari segi makna dan acuannya. Untuk penjelasan hal ini, kiranya perlu diingat kembali segitiga semantik yang dikemukakan oleh Ogden & Richards (Palmer 1976: hal. 26) berdasarkan teori penanda dan petanda yang telah dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure.
Repetisi
Dalam repetisi (pengulangan), seluruh kata (atau bentuk lain) diulang. Pengulangan ini bisa berupa satu kata saja, dapat berupa satu frasa, satu klausa, bahkan satu kalimat. Kata yang sama ini mengandung makna dan acuan yang sama pula, ini berarti bahwa keseluruhan komponen makna antara bentuk pertama dan pengulangannya sama. Adakalanya pengulangan ini menunjukkan kuantitas, kadang-kadang penegasan merupakan gagasan (intensitas), atau mungkin pula demi keindahan.



Pleonasme
Pleonasme adalah pengulangan dengan penanda yang berbeda. Sebenarnya,  komponen makna yang ada pada kata pertama, telah tercakup dalam wilayah makna kata (atau bentuk lain) berikutnya. Orang sering mengatakannya sebagai pemakaian kata yang lewah. Di sini kedua (atau beberapa) kata itu muncul bersama dalam teks. Dalam wilayah maknanya, tidak ada penambahan atau pengurangan komponen makna, hanya kesan intensitas saja yang bertambah berkat pemunculan beberapa kata (bentuk) lain, yang mengandung komponen makna dari kata pertama.

Simile (disebut juga perumpamaan atau perbandingan)
Dalam simile terdapat dua kata (atau bentuk lainnya) yang masing-masing  menampilkan konsep dan acuan yang berbeda. Menurut pandangan budaya tertentu (bisa juga menurut pandangan seseorang, bila simile itu orisinil) antara wilayah makna kedua bkata (atau bentuk lainnya) itu terdapat persamaan komponen makna, sehingga keduanya bisa diperbandingkan. Perbandingan ini tidak menimbulkan masalah.. Majas ini mudah dikenali, karena kedua penanda muncul secara bersamaan dan selalu dihubungkan oleh kata pembandingnya. Jadi perbandingan bersifat eksplisit.


Personifikasi dan depersonifikasi.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, personifikasi dan depersonifikasi sering
dimasukkan ke dalam majas metafora, karena penjelasannya secara semantik sama. Itulah sebabnya maka di sini, penulis merasa tidak perlu lagi menampilkan bagan wilayah makna maupun bagan segitiga semantik. Personifikasi adalah majas yang menampilkan binatang, tanaman, atau benda sebagai manusia. Contoh:
- “Melambai-lambai, nyiur di pantai” (cuplikan lagu Tanah airku Indonesia)
Unsur yang dibandingkan: “gerakan tangan” dengan “gerakan daun nyiur”.
Komponen makna penyama: „gerakan, „bagian dari sesuatu yang besar (tangan/daun).  Komponen makna pembeda untuk tangan adalah bagian dari manusia. Komponen makna pembeda untuk daun nyiur adalah „tanaman.
Di sini yang muncul hanya gerakan daun nyiur, sedangkan gerakan tangan manusia menjadi implisit. Acuan pun berubah, yang melambai bukan lagi tangan manusia, melainkan daun nyiur.
Di lain pihak, depersonifikasi adalah majas yang menampilkan manusia sebagai binatang, benda-benda alam, atau benda lainnya. Jadi, sebenarnya depersonifikasi adalah lawan dari personifikasi, namun proses pembentukan kedua majas ini sama.
Contoh:
- Tono diam, mematung
- Unsur yang dibandingkan: “tubuh manusia (Tono)” dengan “patung”

Komponen makna penyama: „sesuatu yang diam, tidak bergerak.
Komponen makna pembeda untuk tubuh Tono: „manusia yang mempunyai tubuh dan jiwa.  Komponen makna pembeda untuk patung: „benda, hasil karya manusia yang terbuat  dari batu, kayu atau semen.
Yang muncul di sini hanya leksem mematung, sedangkan “tubuh” bersifat implisit. Acuannya bukan lagi benda melainkan tubuh manusia.


Majas berdasarkan pada oposisi makna.
1. Antitese
Antitese adalah oposisi antara dua gagasan, dengan menggunakan dua leksem
atau frase yang disandingkan agar lebih jelas dan menonjol kontrasnya. Kedua leksem mengandung makna yang berlawanan dan keduanya muncul bersama, jadi tidak bersifat implisit. Contoh: - Besar-kecil, tua-muda, kaya-miskin semua berlomba-lomba ingin hidup senang . Kedua leksem yang ditampilkan dengan garis penghubung (misalnya besar-kecil), mempunyai makna yang berlawanan satu sama lain.  Contoh lain: Hidup-mati saya ada di tangan anda.  Dalam kalimat di atas, leksem hidup mempunyai makna yang berlawanan dengan makna tidak hidup yang ada dalam leksem mati. Penulis beranggapan tidak perlu mengemukakan bagan wilayah makna maupun bagan segitiga semantik di sini, karena leksem-leksem di atas telah jelas beroposisi. Jadi, baik wilayah makna maupun segitiga semantiknya masing-masing berdiri sendiri.




2. Paradoks
Paradoks adalah opini atau argumen yang berlawanan dengan pendapat umum, bisa dianggap aneh atau luar biasa. Dikatakan juga paradoks, suatu proposisi yang salah tetapi sekali gus juga benar. Sering kali di balik gagasan yang mengherankan, paradoks menyembunyikan kebenaran yang dapat dipertahankan. Dalam majas ini, ada  dua penanda yang mempunyai makna yang beroposisi. Kedua penanda muncul, jadi tidak bersifat implisit. Namun, oposisi itu ada dalam makna kata saja, sedangkan di dalam kehidupan seringkali paradoks itu tidak merupakan oposisi melainkan menguat- kan makna. Berikut ini akan dikemukakan bagan wilayah makna:  Bagan wilayah makna ini perlu dikemukakan  dalam lingkup konteks pengujaran (di sini di- kemukakan dengan bentuk persegi panjang)  karena bila tidak, majas paradoks tak akan  dipahami dan kata-kata yang ada hanya akan  dianggap aneh..  Di dalam leksem kesepian terdapat komponen makna „tidak ramai, sehingga tentu saja beroposisi dengan leksem keramaian.Dalam tataran denotatif gagasan yang beroposisi ini tidak mempunyai konteks (pendapat “umum”), sehingga tampak mengherankan atau aneh. Walaupun demikian, secara konotatif, keduanya merupakan paradoks, karena sebenarnya hal ini sering terjadi bila seseorang merasa tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. Inilah yang disebut paradoks.
3. Ironi
Dalam ironi, pengujar menyampaikan sesuatu yang sebaliknya dari apa yang  ingin dikatakannya, jadi di sini terdapat satu penanda dengan dua kemungkinan petanda. Ironi mengandung antonimi atau oposisi antara kedua tataran isi. Ironi juga mengandung kesenjangan yang cukup kuat antara makna harfiah dan makna kiasan. Maka di dalam ironi terdapat keharusan yang sering bertumpu pada makna inversi semantis, baik secara keseluruhan maupun sebahagian. Hal ini menjadi ciri ironi. Apabila dilihat dari wilayah maknanya, ironi tidak banyak berbeda dengan majas pertentangan lainnya. Namun dalam ironi salah satu bentuk (penanda) tidak hadir, jadi bersifat implisit. Perlu diingat bahwa pemahaman ironi sangat tergantung dari konteks (bahkan beberapa ahli bahasa membe- dakan ironi dari majas lainnya, karena hal tersebut). Apabila konteks tidak mendukung ironi, maka ujaran yang mengandung ejekan dapat menjadi pujian.
Contoh: - “Wah, pemerintah sekarang memang sukses, ya!”
“Benarkah pendapatmu demikian?”
“Ya, tentu saja, sukses dalam menaikkan harga-harga!”
Di sini, tampak ada dua petanda. Leksem sukses biasanya mengandung komponen makna positif, tetapi kadang-kadang juga dapat mempunyai makna negatif apabila konteks mendukungnya. Pada ujaran pertama, leksem sukses masih mengandung kemungkinan bermakna positif (sebagaimana lazimnya), namun pada ujaran yang ke-3 leksem itu diikuti frasa “menaikkan harga-harga” yang secara konotatif mempunyai makna negatif. Oposisi makna ini menunjukkan adanya ironi. Di sini, konteks bersifat tekstual, sehingga tidak mungkin ada makna pujian.